Salah seorang teman tidak percaya kalau wanita berkerudung merah itu adalah Ibu saya. Dia bilang Ibu saya sangat muda. Saya hanya tertawa karena memang saya tahu betul sekarang usia Ibu saya berapa.
Memang iya, tak jarang para tetangga ataupun sanak saudara mengatakan kalau kami persis seperti seorang kakak adik. Saya senang, namun Ibu yang sering malu. Beliau bilang "mamak suka malu kalo dibilang masih terlihat muda kak" saya terkejut dan bertanya kenapa. Jawabnya singkat tepat padat, sekaligus terkagum. Beliau bilang "karna mamak kan udah tua. Anaknya udah besar-besar. Apa mamak ini masih bergaya seperti wanita 30an ya kak?" Saya lantas menjawab dengan bangga "bukan pakaian penyebab nya, mak. Mungkin karna keramahan raut wajah mamak" ibu saya langsung tertawa. Memang benar, ibu saya sangat menjaga benar pakaiannya. Bahkan tergolong style ibu-ibu sekali. Dengan jilbab yang tak pernah lepas dari kepala ketika kepasar. Pakaian ketat jauh dari tipikalnya. Itu yang saya suka. Tidak mau terlihat muda. Walaupun sebenarnya inner beauty tidak bisa ditutupi.
Ibu saya tipikal ibu yang friendly kepada teman dekat anak-anaknya. Kalau teman saya dateng, ya Ibu ikutan nimbrung. Ikut canda-candaan, ikut masuk dalam perbincangan. Maka tak heran ibu tahu semua hal tentang saya. Mulai dari saya sedang 'dekat' dengan siapa sampai saya sedang 'tidak enakan' dengan siapa. Kebetulan ibu saya juga mempunyai akun facebook yang semua temannya selain sanak saudara ialah teman-teman anaknya. Jadi ibu itu selalu mengontrol perkembangan anaknya + teman anaknya dari sini, hehehe
Saya benar menjadikan ibu adalah sosok sahabat. Orang yang pertama kali tau semua hal tentang hidup saya. Sering 'ambekan' juga, hehehe. Tapi tidak tahan lama-lama, karna saya memang gak bisa tidak bicara dengan ibu saya. Suatu hari, saya pernah iseng bertanya pada ibu saya tentang perasaannya kalau saya kelak menikah dan hidup bersama suami saya. Beliau menjawab "ya gak mungkin mamak nahan jangan pergi kan kak? Ya pastinya sedih. Tapi mamak yakin, kelak suami mu adalah orang yang baik. Yang bisa jaga kau sebaik mungkin. Maka nya ajak lah main kerumah" hahaha saya tertawa sambil tiduran dipaha ibu saya dan ibu membelai-belai rambut saya. Saya manja sekali dengan ibu saya. Tapi ibu memang tidak memanjakan saya dalam hal pekerjaan rumah. Saya tetap dilatih bagaimana cara memasak, mencuci, jemur pakaian, nyetrika, beberes rumah, segala pekerjaan rumah memang Ibu sudah mengenalkannya sejak saya SMP, Ibu bilang "biar nanti kau gak malu sama mertua mu. Perempuan itu harus serba bisa" hahaha ibu saya memang gitu. Kalau saya salah ibu tetap menegur dengan khas ibu-ibu. Kadang saya suka jail dengan menjawab semua omelannya sambil tertawa yang membuat ibu ikut tertawa hehehe. Saya sangat berterima kasih sama Allah sudah memberi nafas kesehatan ke Ibu saya. Waktu-waktu tak pernah bosan saya lewati bersama Ibu. Sudah seperti sahabat, saling curhat. Walaupun sebenarnya saya yang sering curhat ini itu. Kalau ibu paling curhat masalah harga sembako. Sebab Ayah saya adalah ayah yang baik yang nyaris tidak pernah melukai hati Ibu, Alhamdulillah :')
Semoga benar-benar bisa menjadi sosok anak yang bisa membanggakan Ibu dan Ayah, Aamiin.
Jumat, 22 Mei 2015
Sahabat itu Ibu
Sabtu, 02 Mei 2015
Tulisan untuk Murabbi
Hidayah bisa datang dari mana aja. Dari situasi yang bagaiamana aja. Dan dari keadaan kita masih dalam seperti apa aja. Yah, hidayah akan datang pada diri kita kalau kita mau mempersilahkannya untuk masuk kedalam hati kita. Orang menjemput hidayahnya dengan cara yang berbeda-beda dan dengan melalui asbab yang berbeda juga. Jangan pernah pandang sebelah mata orang-orang yang amal ibadahnya masih jauh dibawah kita, yang masih suka bolong sholat, belum menutup aurat, masih intens berkontak fisik dengan lawan jenis, belum bisa menghindari dari ucapan-ucapan kotor. Sebenarnya itu tugas kita untuk merangkulnya, sebab bisa jadi asal mula hidayah yang akan dia jemput itu ada di tangan kita atas ijin Allah. Benar, hati itu ibarat kaca yang tipis. Jika ada debu, maka bersihkanlah dengan lembut. Jika kita menekannya dan membersihkannya dengan kasar, maka yang ada kaca itu bukan akan menjadi bersih, melainkan akan pecah hancur. Begitu juga dengan hati kita. Tegur dengan kelemah lembutan. Jika hari ini hati masih menolak nasihat, maka ulangi esoknya. Nasihat nasihat dan nasihat. Ibarat, bersihkan bersihkan bersihkan. Secara perlahan.
Secara pribadi, dalam tulisan saya ini, saya ingin berterima kasih pada Allah karna telah memperkenalkan saya dengan salah seorang kakak yang Allah pilihkan menjadi murobbi saya pertama di kampus. Harus saya akui, beliau lah yang mengetuk pintu hati saya untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih tepatnya 'zaman kejahiliaan'. Beliau tidak pernah bilang dengan kasar "adek harus putuskan pacar adek sekarang juga!!, adek harus sholat kalok enggak kakak akan membenci adek seumur hidup!!, adek harus berjilbab syar'i, kalok enggak kakak akan malu karna merasa gagal!!, dll" tidak, beliau tidak pernah bilang begitu. Saya ingat dengan jelas, beliau memberikan kami list Mutaba'ah Yaumiyah/ibadah harian yang wajib kami isi tiap kali pertemuan. Sudah bisa ditebak, diantara kami ada yang hanya mengisi hanya sholat dzuhur ashar saja, dengan alasan Maghrib dijalan-Isya ketiduran-shubuh apalagi. Saya tersenyum sekaligus sedih mengingatnya ketika kita masih lengkap dilingkaran itu. Lalu, beliau berkata seperti ini "dek, jadikan amal wajib itu benar-benar penting. Awali dengan keterpaksaan bila perlu. Paksa diri adek. Lakukan pemberontakan sikit pada hati adek. Tidak masalah diawali dengan keterpaksaan. Sebab dari keterpaksaan itulah akan lahir keterbiasaan yang akan membawa kita kedalam kondisi dimana kita akan merasa resah jika kita tidak melakukannya. Dan setelah kita mulai resah apabila meninggalkan 1 waktu sholat saja, Insya Allah lambat laun kita akan menjadi ikhlas mengerjakannya. Jangan anggap sholat itu kewajiban, tapi kebutuhan yang memang kita harus memenuhinya untuk membuat ketenangan diri. Seperti halnya makan minum. Kita juga butuh Sholat. Untuk apa? Untuk interaksi kita pada Allah yang menciptakan kita. Yang bisa membuat kita seperti sekarang. Nikmat nafas, nikmat hidup. Untuk membuat kita perlahan menghindari diri dari sifat keji" dan saya disitu merasa tertampar. Subhanallah, masa lalu saya. Terang saja saya praktikan apa yang dikata beliau. Termasuk shubuh. Sampai saya pernah berucap "ya Allah, andai Engkau tau, hamba Mu ini sangat terpaksa melaksanakan Shubuh. Hamba ngantuk ya Allah" lalu niat dan takbir. Dan sampai sekarang saya merasa malu kalau mengingat itu. Alhamdulillah keterpaksaan itu hanya berlangsung selama seminggu. Setelah itu, ibadah harian berangsur membaik. Tinggal sunnah yang masih belum jua terlaksana, termasuk tahajjud. Lagi-lagi beliau menawarkan diri untuk menjadi alarm. Dan Alhamdulillah semoga sampai ajal saya tetap Istiqomah menjalankan semua perintah Allah. Karna kita hanya ingin menggapai ridhonya dan berharap menjadi hamba yang bertawakal. Dan beliau juga pernah menghadiahi saya sebuah buku 'how to be a true moslem girl', Masya Allah buku bagus yang memang pantas untuk saya. Semenjak itu perlahan hidup saya berubah. Termasuk dalam masalah "asrama" eh, "asmara" maksud saya. *Saya tidak akan membahas masalah itu disini*
Jika yang hadir hanya beberapa, di Mukaddimah beliau berkata seperti ini "ya, mungkin kita adalah orang-orang pilihan yang memang Allah pilih untuk hadir dan mendengerkan hal yang bermanfaat. Bukankah malaikat akan menyebut-nyebut nama kita kalau kita berada di majlis ilmu seperti sekarang? Bersyukur kita dek akan nikmat waktu ini. Semoga kawan kita yang lain diberi nikmat waktu yang berlebih dan minggu depan bisa berkumpul dengan kita lagi" hehe, :')
Hingga pada akhirnya saya dipindah tangan kan ke Murabbi yang tak kalah luar biasa. Banyak cerita sekaligus pembelajaran hidup yang beliau kasih. Yang sangat melekat adalah ilmu syukur yang pernah beliau sugukan di lingkaran hangat waktu itu. Bahwa bersyukur itu tidak bisa berpatokan pada jumlah rupiah di dompet. Tapi patokan syukur itu ada dihati kita masing-masing. Seberapa legowo kah kita menerima nya. Bayangkan saja orang yang bergaji 5 juta sebulan dengan orang yang bergaji hanya dengan 700rb sebulan. Secara kasat mata memang kita akan mengira yang bergaji 5 jutalah yang akan bahagia. Bisa jadi kadar bahagia mereka sama. Bisa jadi orang yang bergaji 5 juta itu masih harus bayar kriditan inilah itulah, masih merasa kurang karna teman satu kantor lebih highclass dalam hal apapun lah. Sedang yang bernasib 700rb sebulan tadi ketika dia menerima amplop gaji, dia langsung memeluknya dan berlirih "Alhamdulillah, terimakasih ya Allah bulan ini kembali Kau kasih kepercayaan rezeki halal ini lagi. Cukupkan atasku akan nikmat ini ya Allah. Sedang mereka masih harus berlelah mencari kerja. Jadikan hambaMu ini senantiasa bersyukur" lalu terselip bulir air di ujung matanya. Kalau bercerita tentang syukur mungkin tak akan berjedah. Karna memang banyak hal yang memang harus kita syukuri, sekecil apapun itu. Ketika kamu-kamu sekalian secara tak sengaja membaca tulisan alakadar saya ini, sempatkan juga untuk bersyukur akan nikmat nafas yang masih lancar, nikmat mata yang masih bisa melihat, nikmat tangan yang masih leluasa menyentuh, dan nikmat jiwa yang masih waras.
Maka, nikmat Tuhan mu mana lagi yang kau dustakan?