Hidayah bisa datang dari mana aja. Dari situasi yang bagaiamana aja. Dan dari keadaan kita masih dalam seperti apa aja. Yah, hidayah akan datang pada diri kita kalau kita mau mempersilahkannya untuk masuk kedalam hati kita. Orang menjemput hidayahnya dengan cara yang berbeda-beda dan dengan melalui asbab yang berbeda juga. Jangan pernah pandang sebelah mata orang-orang yang amal ibadahnya masih jauh dibawah kita, yang masih suka bolong sholat, belum menutup aurat, masih intens berkontak fisik dengan lawan jenis, belum bisa menghindari dari ucapan-ucapan kotor. Sebenarnya itu tugas kita untuk merangkulnya, sebab bisa jadi asal mula hidayah yang akan dia jemput itu ada di tangan kita atas ijin Allah. Benar, hati itu ibarat kaca yang tipis. Jika ada debu, maka bersihkanlah dengan lembut. Jika kita menekannya dan membersihkannya dengan kasar, maka yang ada kaca itu bukan akan menjadi bersih, melainkan akan pecah hancur. Begitu juga dengan hati kita. Tegur dengan kelemah lembutan. Jika hari ini hati masih menolak nasihat, maka ulangi esoknya. Nasihat nasihat dan nasihat. Ibarat, bersihkan bersihkan bersihkan. Secara perlahan.
Secara pribadi, dalam tulisan saya ini, saya ingin berterima kasih pada Allah karna telah memperkenalkan saya dengan salah seorang kakak yang Allah pilihkan menjadi murobbi saya pertama di kampus. Harus saya akui, beliau lah yang mengetuk pintu hati saya untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih tepatnya 'zaman kejahiliaan'. Beliau tidak pernah bilang dengan kasar "adek harus putuskan pacar adek sekarang juga!!, adek harus sholat kalok enggak kakak akan membenci adek seumur hidup!!, adek harus berjilbab syar'i, kalok enggak kakak akan malu karna merasa gagal!!, dll" tidak, beliau tidak pernah bilang begitu. Saya ingat dengan jelas, beliau memberikan kami list Mutaba'ah Yaumiyah/ibadah harian yang wajib kami isi tiap kali pertemuan. Sudah bisa ditebak, diantara kami ada yang hanya mengisi hanya sholat dzuhur ashar saja, dengan alasan Maghrib dijalan-Isya ketiduran-shubuh apalagi. Saya tersenyum sekaligus sedih mengingatnya ketika kita masih lengkap dilingkaran itu. Lalu, beliau berkata seperti ini "dek, jadikan amal wajib itu benar-benar penting. Awali dengan keterpaksaan bila perlu. Paksa diri adek. Lakukan pemberontakan sikit pada hati adek. Tidak masalah diawali dengan keterpaksaan. Sebab dari keterpaksaan itulah akan lahir keterbiasaan yang akan membawa kita kedalam kondisi dimana kita akan merasa resah jika kita tidak melakukannya. Dan setelah kita mulai resah apabila meninggalkan 1 waktu sholat saja, Insya Allah lambat laun kita akan menjadi ikhlas mengerjakannya. Jangan anggap sholat itu kewajiban, tapi kebutuhan yang memang kita harus memenuhinya untuk membuat ketenangan diri. Seperti halnya makan minum. Kita juga butuh Sholat. Untuk apa? Untuk interaksi kita pada Allah yang menciptakan kita. Yang bisa membuat kita seperti sekarang. Nikmat nafas, nikmat hidup. Untuk membuat kita perlahan menghindari diri dari sifat keji" dan saya disitu merasa tertampar. Subhanallah, masa lalu saya. Terang saja saya praktikan apa yang dikata beliau. Termasuk shubuh. Sampai saya pernah berucap "ya Allah, andai Engkau tau, hamba Mu ini sangat terpaksa melaksanakan Shubuh. Hamba ngantuk ya Allah" lalu niat dan takbir. Dan sampai sekarang saya merasa malu kalau mengingat itu. Alhamdulillah keterpaksaan itu hanya berlangsung selama seminggu. Setelah itu, ibadah harian berangsur membaik. Tinggal sunnah yang masih belum jua terlaksana, termasuk tahajjud. Lagi-lagi beliau menawarkan diri untuk menjadi alarm. Dan Alhamdulillah semoga sampai ajal saya tetap Istiqomah menjalankan semua perintah Allah. Karna kita hanya ingin menggapai ridhonya dan berharap menjadi hamba yang bertawakal. Dan beliau juga pernah menghadiahi saya sebuah buku 'how to be a true moslem girl', Masya Allah buku bagus yang memang pantas untuk saya. Semenjak itu perlahan hidup saya berubah. Termasuk dalam masalah "asrama" eh, "asmara" maksud saya. *Saya tidak akan membahas masalah itu disini*
Jika yang hadir hanya beberapa, di Mukaddimah beliau berkata seperti ini "ya, mungkin kita adalah orang-orang pilihan yang memang Allah pilih untuk hadir dan mendengerkan hal yang bermanfaat. Bukankah malaikat akan menyebut-nyebut nama kita kalau kita berada di majlis ilmu seperti sekarang? Bersyukur kita dek akan nikmat waktu ini. Semoga kawan kita yang lain diberi nikmat waktu yang berlebih dan minggu depan bisa berkumpul dengan kita lagi" hehe, :')
Hingga pada akhirnya saya dipindah tangan kan ke Murabbi yang tak kalah luar biasa. Banyak cerita sekaligus pembelajaran hidup yang beliau kasih. Yang sangat melekat adalah ilmu syukur yang pernah beliau sugukan di lingkaran hangat waktu itu. Bahwa bersyukur itu tidak bisa berpatokan pada jumlah rupiah di dompet. Tapi patokan syukur itu ada dihati kita masing-masing. Seberapa legowo kah kita menerima nya. Bayangkan saja orang yang bergaji 5 juta sebulan dengan orang yang bergaji hanya dengan 700rb sebulan. Secara kasat mata memang kita akan mengira yang bergaji 5 jutalah yang akan bahagia. Bisa jadi kadar bahagia mereka sama. Bisa jadi orang yang bergaji 5 juta itu masih harus bayar kriditan inilah itulah, masih merasa kurang karna teman satu kantor lebih highclass dalam hal apapun lah. Sedang yang bernasib 700rb sebulan tadi ketika dia menerima amplop gaji, dia langsung memeluknya dan berlirih "Alhamdulillah, terimakasih ya Allah bulan ini kembali Kau kasih kepercayaan rezeki halal ini lagi. Cukupkan atasku akan nikmat ini ya Allah. Sedang mereka masih harus berlelah mencari kerja. Jadikan hambaMu ini senantiasa bersyukur" lalu terselip bulir air di ujung matanya. Kalau bercerita tentang syukur mungkin tak akan berjedah. Karna memang banyak hal yang memang harus kita syukuri, sekecil apapun itu. Ketika kamu-kamu sekalian secara tak sengaja membaca tulisan alakadar saya ini, sempatkan juga untuk bersyukur akan nikmat nafas yang masih lancar, nikmat mata yang masih bisa melihat, nikmat tangan yang masih leluasa menyentuh, dan nikmat jiwa yang masih waras.
Maka, nikmat Tuhan mu mana lagi yang kau dustakan?
Sabtu, 02 Mei 2015
Tulisan untuk Murabbi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar