Kita harus terbangun
Aku sudah
Dan perlahan
Demi perlahan
Perlahan
Aku mulai mengerti
Sampai kini
Aku memilih pergi
Kau?
Pergi jugalah
Aku sudah benci
Terpaksa
Aku menghitung sesuatu
Jejak yang mungkin kosong
Jejakku dan jejakmu yang mati
Tak ada sisa
Aku terlamun
Namun tak muncul gambarmu
Semua tawa
Tak berbecak
Mungkin harus putih
Dan aku pergi
Bukan hanya Oktober
Jumat, 31 Oktober 2014
Sabtu, 25 Oktober 2014
Indahnya Ukhuwah
Dipersembunyian malam ada yang terlirih
Berteman gerimis panjang yang kian kaku
Ada benak yang tertatih
Rindu akan sebuah air mata
Doa terbentang di atas Sajadah
Ketika gerimis berganti suara detik jam
Akankah terlewati hari esok?
Disaat dosa belum tertebus pahala
Didingin pagi aku terlari
Memacu semangat yang pernah luntur
Kicauan camar mensyahdukan hati
Embun di permukaan daun terlihat ramah
Apakah ini semangat?
Ketika keringat tak terasa jatuhya
Ketika luka sayat tak terasa sakitnya
Apakah ini cinta?
Diterik siang kita bergandengan
Dengan asa yang selalu sama
Disaat ada air mata, disaat itu juga senyum tercipta
Kita bingkisan terindah
Disetiap pelukan ada doa
Untuk bertemu bukan hanya di dunia
Disetiap pelukan yang ada
Untuk tetap berjalan bersama beriringan
Jumat, 24 Oktober 2014
Mengerti senja
Mengerti senja
Diantara pulau
Kau dan aku
Tak paham
Cahayanya masuk sedikit kabut
Tidakkah kau kabut senja itu?
Jika benar
Bisakah kumasukkan ke dalam kertas bulat?
Tapi, yakinkan aku lebih dalam
Bersama senja aku tak perlu lelah beraksara dan berkata
Dan kau jualah tak perlu bersiul
Senja adalah perwakilan semua aksara dan kata kita
Keindahannya
Resapilah, ada perasaanku disana yang tak pernah tersampaikan
Adakah matamu disana?
Melihat tarian senja yang selalu indah
Jika matamu disana, kita telah beradu pandang
Maka ijinkan aku bahagia sampai menangis
Dan pada waktunya ada bahu yang hangat
Sambil melihat senja bersama di ruang dan waktu yang tak terhalang pulau lagi
Diantara pulau
Kau dan aku
Tak paham
Cahayanya masuk sedikit kabut
Tidakkah kau kabut senja itu?
Jika benar
Bisakah kumasukkan ke dalam kertas bulat?
Tapi, yakinkan aku lebih dalam
Bersama senja aku tak perlu lelah beraksara dan berkata
Dan kau jualah tak perlu bersiul
Senja adalah perwakilan semua aksara dan kata kita
Keindahannya
Resapilah, ada perasaanku disana yang tak pernah tersampaikan
Adakah matamu disana?
Melihat tarian senja yang selalu indah
Jika matamu disana, kita telah beradu pandang
Maka ijinkan aku bahagia sampai menangis
Dan pada waktunya ada bahu yang hangat
Sambil melihat senja bersama di ruang dan waktu yang tak terhalang pulau lagi
Minggu, 19 Oktober 2014
Menjadikannya sebuah prosa
Aku bisa melihat dengan jelas sejauh mata memandang hanya ada hamparan lapangan berumput yang luas dan rinai hujan yang persis seperti salju dengan bantuan sinaran terang lampu jalan yang tepat di pinggir lapangan. Aku terikut, karena memang terkadang bukan hanya senja yang menjadi teman baik dalam suatu kotak yang aku ciptakan sendiri dan aku menamainya penantian, namun juga hujan salah satunya. Aku sudah mencintai hujan sejak aku mengenalnya ketika aku hanya bisa merasakan hadirnya di tengah itu. apalagi malam kemarin.
Ada saat dimana sebenarnya aku harus diam ketika aku dengan sengaja meluangkan waktu untuk meresapi hujan di tempat dingin itu lewat beranda penginapan. Memeluk erat jemari ku sendiri dan kilatan tak pernah mampu membuat ku takut lagi. Karena mungkin senyum mu yang terkadang tiba membuat ku merasa kilatan di langit sudah tidak ada apa-apanya untuk membuat ku takut. Yap, tatapan mu yang terkadang di iringi senyuman lebih mampu membuat ku terkejut, lantas sedikit ada sesuatu yang rasanya di peluk erat menjadi hangat. Ah, hujan kemarin masih bisa kurasakan sampai malam ini. Disaat aku sudah berada di atas ranjangku dan memakai baju yang nyaman tanpa harus terlihat siapapun.
Aku hapal rasanya dingin dan hujan di Sabtu malam; kita terkaku, aku bisa hapal wajahmu yang tak bersenyum, pun denganku. Sapaan yang biasanya, tidak hadir untuk malam ini. Dan ini memang harus. Aku sering secara tak sengaja melihatmu dan kau biasa saja, karena memang tidak pernah ada yang harus di luar biasakan. Ada sikap yang secara sempurna aku sukai, dengan caramu berjalan. Dan punggungmu yang sering aku tatap sambil berdoa kau tak pernah membalik arah kebelakang, karena aku takut tiba-tiba aku tidak bisa menyembunyikan kepanikan itu. Dan benar, kau hilang di antara hujan.
Aku hapal rasanya hujan dan dingin di Minggu malam; kita bercanda seperti biasa dan kita tidak sendiri. Kau menyuruh ku untuk berpuisi dan aku hanya tersenyum sedikit tertawa. Aku mengalihkan segalanya hingga tiba waktu aku menghabiskan menit bergurau dengan temanku dan kulihat kau sudah menghilang, mencuri waktu aku memperhatikan sekitar. Tak lama kau berlari tanpa menutup kepala. 2 detik saja aku melihatmu dan mengalihkan pandangan ke arah teman yang asik bergurau dan aku kembali terikut. Malam kian larut dan hujan menambah dingin. Satu persatu kembali mengkondisikan suasana sebaik mungkin untuk penginapan, sedang aku masih terkaku memeluk erat tubuh ku sendiri menatap luas lapangan berumput itu. Ku ambil pena yang disaku, ku rentagkan tangan ku di hadapan dan aku mulai berpuisi di tangan ku sendiri. Suasananya memang tak ubahnya seperti background novel tergalau yang pernah tertulis. "seorang wanita duduk sendiri diatara kamar-kamar penginapan. Cahaya lampu dari sisi lapangan luas mampu sedikit membuat hujan yang hadir seakan puluhan kipas yang menyejukan. Sendiri berpuisi di tangan kirinya dan tersenyum begitu siap". Entah sudah berapa kali aku membacanya dan semuanya harus terhapus oleh air hujan itu sendiri.
Aku ingat dingin tanpa hujan di Minggu pukul 3 pagi; berjumpa tanpa ada canda lagi dan aku paham. Kali ini aku terkaku dan kau biasa saja. Kau berlari untuk ku dan aku tidak merasa apa pun. Suasana begitu membuat ku sungguh terkaku. Dan kita biasa saja dengan jarak yang kita paham. Lalu aku diam dan sedikit mencuri matamu untuk yang pertama. Tanpa hujan dan harusnya aku butuh hujan untuk menyampaikan puisi ku yang tertunda beberapa jam..
Ada saat dimana sebenarnya aku harus diam ketika aku dengan sengaja meluangkan waktu untuk meresapi hujan di tempat dingin itu lewat beranda penginapan. Memeluk erat jemari ku sendiri dan kilatan tak pernah mampu membuat ku takut lagi. Karena mungkin senyum mu yang terkadang tiba membuat ku merasa kilatan di langit sudah tidak ada apa-apanya untuk membuat ku takut. Yap, tatapan mu yang terkadang di iringi senyuman lebih mampu membuat ku terkejut, lantas sedikit ada sesuatu yang rasanya di peluk erat menjadi hangat. Ah, hujan kemarin masih bisa kurasakan sampai malam ini. Disaat aku sudah berada di atas ranjangku dan memakai baju yang nyaman tanpa harus terlihat siapapun.
Aku hapal rasanya dingin dan hujan di Sabtu malam; kita terkaku, aku bisa hapal wajahmu yang tak bersenyum, pun denganku. Sapaan yang biasanya, tidak hadir untuk malam ini. Dan ini memang harus. Aku sering secara tak sengaja melihatmu dan kau biasa saja, karena memang tidak pernah ada yang harus di luar biasakan. Ada sikap yang secara sempurna aku sukai, dengan caramu berjalan. Dan punggungmu yang sering aku tatap sambil berdoa kau tak pernah membalik arah kebelakang, karena aku takut tiba-tiba aku tidak bisa menyembunyikan kepanikan itu. Dan benar, kau hilang di antara hujan.
Aku hapal rasanya hujan dan dingin di Minggu malam; kita bercanda seperti biasa dan kita tidak sendiri. Kau menyuruh ku untuk berpuisi dan aku hanya tersenyum sedikit tertawa. Aku mengalihkan segalanya hingga tiba waktu aku menghabiskan menit bergurau dengan temanku dan kulihat kau sudah menghilang, mencuri waktu aku memperhatikan sekitar. Tak lama kau berlari tanpa menutup kepala. 2 detik saja aku melihatmu dan mengalihkan pandangan ke arah teman yang asik bergurau dan aku kembali terikut. Malam kian larut dan hujan menambah dingin. Satu persatu kembali mengkondisikan suasana sebaik mungkin untuk penginapan, sedang aku masih terkaku memeluk erat tubuh ku sendiri menatap luas lapangan berumput itu. Ku ambil pena yang disaku, ku rentagkan tangan ku di hadapan dan aku mulai berpuisi di tangan ku sendiri. Suasananya memang tak ubahnya seperti background novel tergalau yang pernah tertulis. "seorang wanita duduk sendiri diatara kamar-kamar penginapan. Cahaya lampu dari sisi lapangan luas mampu sedikit membuat hujan yang hadir seakan puluhan kipas yang menyejukan. Sendiri berpuisi di tangan kirinya dan tersenyum begitu siap". Entah sudah berapa kali aku membacanya dan semuanya harus terhapus oleh air hujan itu sendiri.
Aku ingat dingin tanpa hujan di Minggu pukul 3 pagi; berjumpa tanpa ada canda lagi dan aku paham. Kali ini aku terkaku dan kau biasa saja. Kau berlari untuk ku dan aku tidak merasa apa pun. Suasana begitu membuat ku sungguh terkaku. Dan kita biasa saja dengan jarak yang kita paham. Lalu aku diam dan sedikit mencuri matamu untuk yang pertama. Tanpa hujan dan harusnya aku butuh hujan untuk menyampaikan puisi ku yang tertunda beberapa jam..
Kamis, 16 Oktober 2014
104-15a
Di senja ini aku seakan hidup
Di relung yang pernah mati
Yang tak bernama
Adakah rindu yang sama akan kita?
Angin disini menyampaikan salam
Bukan dari mu
Mungkin nyawamu satunya
Dia bilang kau hidup lagi
Aku pernah diantara lazuardi
Di sisi kanan aku tak letih menantimu
Dan benar kau datang membawa mawar
Mawar jingga yang tercipta dari ratusan senja
Kau katakan "simpan ini"
Bibir ku terkatup
Kau tersenyum
Kau katakan lagi "aku bisa denganmu sampai ribuan senja berganti"
Aku paham warna tawamu
Ketika kau peluk aku nyaman
Aku jua lah paham rasa senyummu
Ketika tangan kita saling menggenggam
Kau ibarat sebuah embun yang tiba di pelupuk daun
Kau ibarat burung dara yang cantik
Bisa terhitung waktu kita di awal jumpa
Tapi aku benar tidak bisa menghitung tulisan terimakasih untukNya karena telah menerbangkanmu hingga akhirnya kita dipertemukan
NB; Puisi untuk Nelfi Yuliza, adinda tersayang, semoga suka dan terus tersimpan hingga tiba dimana raga tidak bisa bertemu lagi :)
Di relung yang pernah mati
Yang tak bernama
Adakah rindu yang sama akan kita?
Angin disini menyampaikan salam
Bukan dari mu
Mungkin nyawamu satunya
Dia bilang kau hidup lagi
Aku pernah diantara lazuardi
Di sisi kanan aku tak letih menantimu
Dan benar kau datang membawa mawar
Mawar jingga yang tercipta dari ratusan senja
Kau katakan "simpan ini"
Bibir ku terkatup
Kau tersenyum
Kau katakan lagi "aku bisa denganmu sampai ribuan senja berganti"
Aku paham warna tawamu
Ketika kau peluk aku nyaman
Aku jua lah paham rasa senyummu
Ketika tangan kita saling menggenggam
Kau ibarat sebuah embun yang tiba di pelupuk daun
Kau ibarat burung dara yang cantik
Bisa terhitung waktu kita di awal jumpa
Tapi aku benar tidak bisa menghitung tulisan terimakasih untukNya karena telah menerbangkanmu hingga akhirnya kita dipertemukan
NB; Puisi untuk Nelfi Yuliza, adinda tersayang, semoga suka dan terus tersimpan hingga tiba dimana raga tidak bisa bertemu lagi :)
Rabu, 15 Oktober 2014
Rabu, 08 Oktober 2014
Meringkuk dingin
Sepagi ini, ketika tangan memeluk erat kaki meringkuk
Terpata-pata aku benamkan wajah ke lutut
Ada yang terluka dan tak terungkap
Disaat semua perjalanan menguak kisah
Menyerah itu rasanya seperti apa?
Apakah senikmat teh hangat di pagi yang gerimis?
Atau sepahit kopi tak bergula?
Ya Rabb, ada kegaduhan di relung pikiran ini
Detik jam terus berlalu
Bodoh, sudah berapa ratus detik yang terlewat
Dan semua terus tetap tidak menunggu
Untuk aku berdiri dan menyeka bulir-bulir air yang menari indah di pipi
Aku rasa dingin sepagi ini diantara pakaian paling terhangat yang ku punya
Apakah embun di luar ikut menyapa ku?
Aku makin memeluk erat kaki meringkuk
Tak ku dapatkan apa-apa
Terpata-pata aku benamkan wajah ke lutut
Ada yang terluka dan tak terungkap
Disaat semua perjalanan menguak kisah
Menyerah itu rasanya seperti apa?
Apakah senikmat teh hangat di pagi yang gerimis?
Atau sepahit kopi tak bergula?
Ya Rabb, ada kegaduhan di relung pikiran ini
Detik jam terus berlalu
Bodoh, sudah berapa ratus detik yang terlewat
Dan semua terus tetap tidak menunggu
Untuk aku berdiri dan menyeka bulir-bulir air yang menari indah di pipi
Aku rasa dingin sepagi ini diantara pakaian paling terhangat yang ku punya
Apakah embun di luar ikut menyapa ku?
Aku makin memeluk erat kaki meringkuk
Tak ku dapatkan apa-apa
Jumat, 03 Oktober 2014
Ada cerita di hujan sore tadi
Mungkin sekitar 3 jam yang lalu kejadiaanya dan sekarang baru sempat buka Blog untuk menuliskannya, setidaknya agar aku tidak pernah lupa kalau aku pernah sedikit gila untuk kesekian kalinya dan taraaa, lampu baru saja mati di rumah ku, tapi its oke laptop masih 60%, hehehe :)
Santai saja, ini bukan puisi. Pun aku menuliskannya dengan santai kok di temani lilin kecil. Tanpa beban, walaupun laporan praktikum 2 judul belum terselesaikan, ditambah lagi suasana hati yang sedang gundah, Tsaaaaa *curcol
Next, back to story :)
Sekarang lagi memang musim hujan di Kota ku. Nyaris tiap hari hujan dan kabar gembira buat aku kalau ada teman yang buat laporan "Gila, deras kali hujan diluar wak!" Hehehe, Iya aku suka hujan dan itu bukan hal yang asing buat orang yang memang sudah dekat dengan ku. Tapi, dengan aku menuliskan ini orang yang tidak dekat dengan ku pun menjadi tau kalau aku suka hujan. Mungkin lebih tepatnya mandi hujan sambil bawa motor dan memakai mantel a.k.a jas hujan. Jujurnya sih mantel lebih aku fungsikan untuk melindungi tas ransel ku. Sering aku usulkan untuk membeli mantel tas tapi sudah ku duga, mamak nggak pernah mengijinkan. Karna ya itu tadi, dengan aku mempunyai mantel tas maka jas hujan ku pasti selalu anteng di bagasi motor dan membiarkan aku basah kuyup secara sengaja, tapi itu indah cuy. Walaupun temen-temen sering bilang aku udah kena gangguan jiwa gegara hobi ini, tapi masa bodo sajalah selama aku tidak benar kena gangguan jiwa.
Dan sore tadi memang salah satu adegan mandi hujan sambil bawa motor terekstrim yang pernah aku jalani setelah pernah dari kampung sampai rumah mandi hujan bersama Mamak dan Mamak yang memang agak ragu berhasil percaya setelah aku menyakinkan kalau Insya Allah pasti selamat sampai di rumah. Kenapa? Karena tadi hujan disertai angin yang kencang dan sesekali petir bergerumuh tidak pelan. Dan Subhanallah aku bisa menyaksikan terangnya jalan secara alami dan hembusan angin yang memang seakan membela jalanan menjadi beberapa bagian karena efek hujan yang deras, aku bisa merasakan Maha besar Allah akan segala nikmatnya saat itu. Hujan yang deras seakan menusuk-nusuk tangan dan menembus jas hujan yang aku kenakann, di tambah lagi hujan yang bertabrakan dengan kaca helm ku dan entah mengapa aku menikmati itu. Seekstrim-ekstrim nya tingkah ku, di saat seperti itu aku tidak berani memacu motor matic ku di atas 40km/jam. Karena kalau aku segila itu, kemungkinan aku tertiup angin sangat lah besar, karena sedikit demi sedikit aku bisa merasakan hembusan angin yang seakan menggoyangkan motor ku, tapi lafadz Allah dan Ayat kursi tak pernah terputus dari bibir ku, sekalipun suatu hal terjadi setidaknya bibir dan hati tetap terjaga dengan ucapan yang baik.
Sesekali aku lihat sekitar, banyak orang yang berteduh di warung-kios-toko yang tutup dan ditempat lain yang memugkinkan untuk mereka untuk tidak terkena hujan. Tapi batin ini berbicara "Helllo, harunsya kalian tau, betapa nikmatnya ini" aku pun tersenyum. Sejauh mata memandang kabut menyelimuti karena memang hujan yang deras dan Alhamdulillah kaca mata lah yang membantu penglihatan ku, kalau tidak mungkin aku tidak ada di jalan saat itu. Aku mulai menebak-nebak apa yang akan dikatakan Mamak gitu tau aku pulang di saat hujan deras seperti ini dan semoga jawaban "Iya mak, pengen buka puasa di rumah sama Mamak" adalah jawaban yang bisa menghentikan nasihat Mamak yang pasti akan panjang dan lebar, aku tersenyum kembali saat itu. Aku kembali perhatikan lagi sekitar, mobil mendominasi saat itu, motor bisa dihitung jumlahnya. Siapa juga yang mau dijalan hujan-hujanan seperti ini pakai motor kalau bukan orang-orang yang memang mempunyai urusan penting dan orang yang mempunyai hobi aneh seperti aku. Dan hal yang paling greget itu adalah ketika melewati jalan cekung yang berisi air hujan, yap sudah bisa ketebak, apalagi kalau bukan bisa menciprati pengendara sebelah yang juga lewat, kebanyakan sih mana ada yang berani protes, toh tanpa di ciprati juga basah juga, hehe. Ini bukan jahat, tapi sudah manusiawi kok. Karena aku juga nggak pernah protes kalau mobil yang melakukan itu pada ku, tapi kalau lagi hujan ya, kalau lagi nggak hujan tetiba ada mobil yang lewat dan jrettt pakaian ku basah semua itu sudah lain ceritanya. Ya paling ngejar tu mobil dan sampai di samping kaca jendelanya langsung nunjuk-nunjuk kepala (baca: nggak punya otak ya?), hehe. Tapi Alhamdulillah, sejauh ini belum pernah mengalami hal sesakit itu.
Berusaha membuka pintu pager tanpa harus turun dari motor dan yess berhasil, hujan masih belum ada kurangnya, masih deras seperti awal aku memakai jas hujan di SPBU di kawasan Karya Wisata. Aku yakin seisi rumah termasuk Mamak pasti kaget mendapati aku sudah tiba di depan rumah, karena Mamak suka khawatir berlebihan kalau aku sudah pulang dan mendapati aku kuyup walaupun dengan keadaan jas hujan melekat di badan. Dan benar dugaan ku, Mamak marah karena aku menerjang hujan dan tidak memilih berteduh. Mungkin sekurangnya begini percakapannya, "Ya Allah kak, mamak udah doa supaya kau nggak pulang hujan-hujan gini | Hehehe, tadinya mau teduhan mak, tapi sayang uangnya untuk buka puasa diluar | Untuk apa di kasih uang jajan kalau nggak pernah di jajani? | Hehehe, kan mau buka puasa sama Mamak dirumah | Kalau hujan itu ya mbok teduhan dulu, kayak abangmu itu | Justru hujan-hujanan itu yang enak Mak | jangan sombong, untung masih di kasih keselamatan sama Allah | Iya lah mak -_-
Jujurnya aku memang jarang makan diluar guna menghemat, lebih sering selalu bawa bekal makan siang dari rumah dan bawa makanan kecil untuk sore nya kalau sudah lapar dan tak kunjung pulang. Uangnya di tabung, udah tersimpan banyak beli buku deh, hahaha. Tapi lebih sering keguna untuk ini itu urusan kuliah, jadi kalau memang masih terjangkau sama uang simpanan jarang minta bapak lagi. ckck. Setelah nego ini itu ini itu akhirnya nasihat Mamak terhenti dengan perjanjian aku nggak akan nekat pulang kerumah lagi kalau hujan angin seperti tadi. Dan suara Adzan pun bergemah, Alhamdulillah hari ini sangat luar biasa.
Diantara ribuan rintik hujan tadi ada sebuah doa yang teruntai. Harapan untuk menjadi yang lebih baik lagi, sudah pasti. Dan aku tau ada yang harus segera di perbaiki dari diri ini hingga akhirnya aku rela..
Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca ini. Ini hanya sebagian saja, karena ada yang tidak bisa berhasil aku ingat lagi, mungkin semua sudah ikut hanyut dibawa hujan atau terikut oleh angin yang nyaris menerbangkan aku tadi..
Santai saja, ini bukan puisi. Pun aku menuliskannya dengan santai kok di temani lilin kecil. Tanpa beban, walaupun laporan praktikum 2 judul belum terselesaikan, ditambah lagi suasana hati yang sedang gundah, Tsaaaaa *curcol
Next, back to story :)
Sekarang lagi memang musim hujan di Kota ku. Nyaris tiap hari hujan dan kabar gembira buat aku kalau ada teman yang buat laporan "Gila, deras kali hujan diluar wak!" Hehehe, Iya aku suka hujan dan itu bukan hal yang asing buat orang yang memang sudah dekat dengan ku. Tapi, dengan aku menuliskan ini orang yang tidak dekat dengan ku pun menjadi tau kalau aku suka hujan. Mungkin lebih tepatnya mandi hujan sambil bawa motor dan memakai mantel a.k.a jas hujan. Jujurnya sih mantel lebih aku fungsikan untuk melindungi tas ransel ku. Sering aku usulkan untuk membeli mantel tas tapi sudah ku duga, mamak nggak pernah mengijinkan. Karna ya itu tadi, dengan aku mempunyai mantel tas maka jas hujan ku pasti selalu anteng di bagasi motor dan membiarkan aku basah kuyup secara sengaja, tapi itu indah cuy. Walaupun temen-temen sering bilang aku udah kena gangguan jiwa gegara hobi ini, tapi masa bodo sajalah selama aku tidak benar kena gangguan jiwa.
Dan sore tadi memang salah satu adegan mandi hujan sambil bawa motor terekstrim yang pernah aku jalani setelah pernah dari kampung sampai rumah mandi hujan bersama Mamak dan Mamak yang memang agak ragu berhasil percaya setelah aku menyakinkan kalau Insya Allah pasti selamat sampai di rumah. Kenapa? Karena tadi hujan disertai angin yang kencang dan sesekali petir bergerumuh tidak pelan. Dan Subhanallah aku bisa menyaksikan terangnya jalan secara alami dan hembusan angin yang memang seakan membela jalanan menjadi beberapa bagian karena efek hujan yang deras, aku bisa merasakan Maha besar Allah akan segala nikmatnya saat itu. Hujan yang deras seakan menusuk-nusuk tangan dan menembus jas hujan yang aku kenakann, di tambah lagi hujan yang bertabrakan dengan kaca helm ku dan entah mengapa aku menikmati itu. Seekstrim-ekstrim nya tingkah ku, di saat seperti itu aku tidak berani memacu motor matic ku di atas 40km/jam. Karena kalau aku segila itu, kemungkinan aku tertiup angin sangat lah besar, karena sedikit demi sedikit aku bisa merasakan hembusan angin yang seakan menggoyangkan motor ku, tapi lafadz Allah dan Ayat kursi tak pernah terputus dari bibir ku, sekalipun suatu hal terjadi setidaknya bibir dan hati tetap terjaga dengan ucapan yang baik.
Sesekali aku lihat sekitar, banyak orang yang berteduh di warung-kios-toko yang tutup dan ditempat lain yang memugkinkan untuk mereka untuk tidak terkena hujan. Tapi batin ini berbicara "Helllo, harunsya kalian tau, betapa nikmatnya ini" aku pun tersenyum. Sejauh mata memandang kabut menyelimuti karena memang hujan yang deras dan Alhamdulillah kaca mata lah yang membantu penglihatan ku, kalau tidak mungkin aku tidak ada di jalan saat itu. Aku mulai menebak-nebak apa yang akan dikatakan Mamak gitu tau aku pulang di saat hujan deras seperti ini dan semoga jawaban "Iya mak, pengen buka puasa di rumah sama Mamak" adalah jawaban yang bisa menghentikan nasihat Mamak yang pasti akan panjang dan lebar, aku tersenyum kembali saat itu. Aku kembali perhatikan lagi sekitar, mobil mendominasi saat itu, motor bisa dihitung jumlahnya. Siapa juga yang mau dijalan hujan-hujanan seperti ini pakai motor kalau bukan orang-orang yang memang mempunyai urusan penting dan orang yang mempunyai hobi aneh seperti aku. Dan hal yang paling greget itu adalah ketika melewati jalan cekung yang berisi air hujan, yap sudah bisa ketebak, apalagi kalau bukan bisa menciprati pengendara sebelah yang juga lewat, kebanyakan sih mana ada yang berani protes, toh tanpa di ciprati juga basah juga, hehe. Ini bukan jahat, tapi sudah manusiawi kok. Karena aku juga nggak pernah protes kalau mobil yang melakukan itu pada ku, tapi kalau lagi hujan ya, kalau lagi nggak hujan tetiba ada mobil yang lewat dan jrettt pakaian ku basah semua itu sudah lain ceritanya. Ya paling ngejar tu mobil dan sampai di samping kaca jendelanya langsung nunjuk-nunjuk kepala (baca: nggak punya otak ya?), hehe. Tapi Alhamdulillah, sejauh ini belum pernah mengalami hal sesakit itu.
Berusaha membuka pintu pager tanpa harus turun dari motor dan yess berhasil, hujan masih belum ada kurangnya, masih deras seperti awal aku memakai jas hujan di SPBU di kawasan Karya Wisata. Aku yakin seisi rumah termasuk Mamak pasti kaget mendapati aku sudah tiba di depan rumah, karena Mamak suka khawatir berlebihan kalau aku sudah pulang dan mendapati aku kuyup walaupun dengan keadaan jas hujan melekat di badan. Dan benar dugaan ku, Mamak marah karena aku menerjang hujan dan tidak memilih berteduh. Mungkin sekurangnya begini percakapannya, "Ya Allah kak, mamak udah doa supaya kau nggak pulang hujan-hujan gini | Hehehe, tadinya mau teduhan mak, tapi sayang uangnya untuk buka puasa diluar | Untuk apa di kasih uang jajan kalau nggak pernah di jajani? | Hehehe, kan mau buka puasa sama Mamak dirumah | Kalau hujan itu ya mbok teduhan dulu, kayak abangmu itu | Justru hujan-hujanan itu yang enak Mak | jangan sombong, untung masih di kasih keselamatan sama Allah | Iya lah mak -_-
Jujurnya aku memang jarang makan diluar guna menghemat, lebih sering selalu bawa bekal makan siang dari rumah dan bawa makanan kecil untuk sore nya kalau sudah lapar dan tak kunjung pulang. Uangnya di tabung, udah tersimpan banyak beli buku deh, hahaha. Tapi lebih sering keguna untuk ini itu urusan kuliah, jadi kalau memang masih terjangkau sama uang simpanan jarang minta bapak lagi. ckck. Setelah nego ini itu ini itu akhirnya nasihat Mamak terhenti dengan perjanjian aku nggak akan nekat pulang kerumah lagi kalau hujan angin seperti tadi. Dan suara Adzan pun bergemah, Alhamdulillah hari ini sangat luar biasa.
Diantara ribuan rintik hujan tadi ada sebuah doa yang teruntai. Harapan untuk menjadi yang lebih baik lagi, sudah pasti. Dan aku tau ada yang harus segera di perbaiki dari diri ini hingga akhirnya aku rela..
Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca ini. Ini hanya sebagian saja, karena ada yang tidak bisa berhasil aku ingat lagi, mungkin semua sudah ikut hanyut dibawa hujan atau terikut oleh angin yang nyaris menerbangkan aku tadi..
Langganan:
Postingan (Atom)