Minggu, 19 Oktober 2014

Menjadikannya sebuah prosa

 Aku bisa melihat dengan jelas sejauh mata memandang hanya ada hamparan lapangan berumput yang luas dan rinai hujan yang persis seperti salju dengan bantuan sinaran terang lampu jalan yang tepat di pinggir lapangan. Aku terikut, karena memang terkadang bukan hanya senja yang menjadi teman baik dalam suatu kotak yang aku ciptakan sendiri dan aku menamainya penantian, namun juga hujan salah satunya. Aku sudah mencintai hujan sejak aku mengenalnya ketika aku hanya bisa merasakan hadirnya di tengah itu. apalagi malam kemarin.
 Ada saat dimana sebenarnya aku harus diam ketika aku dengan sengaja meluangkan waktu untuk meresapi hujan di tempat dingin itu lewat beranda penginapan. Memeluk erat jemari ku sendiri dan kilatan tak pernah mampu membuat ku takut lagi. Karena mungkin senyum mu yang terkadang tiba membuat ku merasa kilatan di langit sudah tidak ada apa-apanya untuk membuat ku takut. Yap, tatapan mu yang terkadang di iringi senyuman lebih mampu membuat ku terkejut, lantas sedikit ada sesuatu yang rasanya di peluk erat menjadi hangat. Ah, hujan kemarin masih bisa kurasakan sampai malam ini. Disaat aku sudah berada di atas ranjangku dan memakai baju yang nyaman tanpa harus terlihat siapapun.
 Aku hapal rasanya dingin dan hujan di Sabtu malam; kita terkaku, aku bisa hapal wajahmu yang tak bersenyum, pun denganku. Sapaan yang biasanya, tidak hadir untuk malam ini. Dan ini memang harus. Aku sering secara tak sengaja melihatmu dan kau biasa saja, karena memang tidak pernah ada yang harus di luar biasakan. Ada sikap yang secara sempurna aku sukai, dengan caramu berjalan. Dan punggungmu yang sering aku tatap sambil berdoa kau tak pernah membalik arah kebelakang, karena aku takut tiba-tiba aku tidak bisa menyembunyikan kepanikan itu. Dan benar, kau hilang di antara hujan.
 Aku hapal rasanya hujan dan dingin di Minggu malam; kita bercanda seperti biasa dan kita tidak sendiri. Kau menyuruh ku untuk berpuisi dan aku hanya tersenyum sedikit tertawa. Aku mengalihkan segalanya hingga tiba waktu aku menghabiskan menit bergurau dengan temanku dan kulihat kau sudah menghilang, mencuri waktu aku memperhatikan sekitar. Tak lama kau berlari tanpa menutup kepala. 2 detik saja aku melihatmu dan mengalihkan pandangan ke arah teman yang asik bergurau dan aku kembali terikut. Malam kian larut dan hujan menambah dingin. Satu persatu kembali mengkondisikan suasana sebaik mungkin untuk penginapan, sedang aku masih terkaku memeluk erat tubuh ku sendiri menatap luas lapangan berumput itu. Ku ambil pena yang disaku, ku rentagkan tangan ku di hadapan dan aku mulai berpuisi di tangan ku sendiri. Suasananya memang tak ubahnya seperti background novel tergalau yang pernah tertulis. "seorang wanita duduk sendiri diatara kamar-kamar penginapan. Cahaya lampu dari sisi lapangan luas mampu sedikit membuat hujan yang hadir seakan puluhan kipas yang menyejukan. Sendiri berpuisi di tangan kirinya dan tersenyum begitu siap". Entah sudah berapa kali aku membacanya dan semuanya harus terhapus oleh air hujan itu sendiri.
 Aku ingat dingin tanpa hujan di Minggu pukul 3 pagi; berjumpa tanpa ada canda lagi dan aku paham. Kali ini aku terkaku dan kau biasa saja. Kau berlari untuk ku dan aku tidak merasa apa pun. Suasana begitu membuat ku sungguh terkaku. Dan kita biasa saja dengan jarak yang kita paham. Lalu aku diam dan sedikit mencuri matamu untuk yang pertama. Tanpa hujan dan harusnya aku butuh hujan untuk menyampaikan puisi ku yang tertunda beberapa jam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar