Akankah sama ketika kita bersama, mungkin sama.
Namun, kita tidak akan pernah sama mencapai garis finish itu.
Mungkin ketika ku coretkan tinta diatas kertas kusam itu kau akan bingung dan menganggap aku hanyalah "apalah".
Kau lantas datang menepuk pelan punggung ku lalu kau ucapkan ratusan mantra yang dapat membuat ku tersenyum, walaupun lagi-lagi kau takkan pernah tau arti senyum ini.
Suatu ketika kita pernah sama susah.
Kau bercerita tentang fajar, aku bercerita tentang mentari.
Fajar yang mengharuskanmu untuk berkeringat dan mentari yang mengaruskan ku harus bermanja dengan sinarnya.
Diujung cerita kita tertawa, dan bercerita tentang bulan.
Sama saja, kau tetap menjadi seorang teman yang asyik yang.
Mungkin kau akan mendahului ku, meski dalam hati kecil berharap kita bersama saling berpegangan sampai di garis finish.
Entalah, rasa sedih singgah kalau berbicara tentang ini.
Dan ku tunggu, kau tak jua datang.
Hingga akhirnya aku tersadar, kita tak pernah sama walau ada di ruang yang sama..
Jumat, 31 Januari 2014
Rabu, 29 Januari 2014
Tersenyumlah, sahabat : )
Menagislah, silahkan.
Tapi jangan di dihadapanku.
Tak pernah sekalipun aku melarangmu untuk menagis.
Tapi pergilah 20 langkah dariku lalu silahkan kau menangis.
Bahkan aku mau menghantarkanmu ke tempat dimana kau bisa menangis.
Asal kau jangan minta agar aku disampingmu untuk menemanimu menangis.
Aku bersedia mendengar ceritamu, apa saja.
Tapi jangan salahkan aku kalau aku akan pergi jika sudah ku lihat matamu berkaca.
Sahabat, bukan aku tak setia kawan padamu.
Tapi karna hati ini takkan sanggup melihat bulir air matamu menetes.
Akan ku peluk kau erat, tapi dengan janji takkan kau keluarkan air mata itu di depanku.
Tersenyumlah, sahabat : )
Tapi jangan di dihadapanku.
Tak pernah sekalipun aku melarangmu untuk menagis.
Tapi pergilah 20 langkah dariku lalu silahkan kau menangis.
Bahkan aku mau menghantarkanmu ke tempat dimana kau bisa menangis.
Asal kau jangan minta agar aku disampingmu untuk menemanimu menangis.
Aku bersedia mendengar ceritamu, apa saja.
Tapi jangan salahkan aku kalau aku akan pergi jika sudah ku lihat matamu berkaca.
Sahabat, bukan aku tak setia kawan padamu.
Tapi karna hati ini takkan sanggup melihat bulir air matamu menetes.
Akan ku peluk kau erat, tapi dengan janji takkan kau keluarkan air mata itu di depanku.
Tersenyumlah, sahabat : )
Sabtu, 25 Januari 2014
Pernah kemarin
Pernah kemarin ketika aku tiba dipersimpangan.
Kemarin juga aku rasa tiba diujung jalan.
Ah, sama saja apa bedanya?
Ketika tak kudapatkan lagi kau disana.
Pernah juga ketika kau mengirimkan puisi untuk ku.
Kemarin juga aku rasa bahagia.
Ah, lagi-lagi itu hanya kamuflase.
Ketika kulihat kau juga hilang ketika aku tiba.
Pernah kemarin ketika aku dapatkan kau bersedih.
Kemarin jug aku rasa sama.
Ah, kau malah membuang muka.
Ketika aku ingin menghapus air mata jagung yang aku lihat mengalir di pipimu sampai dagu.
Pernah kemarin ketika aku melihat purnama yang aku rasa indah.
Kemarin juga aku rasa haru.
Ah, kau seakan tidak peduli.
Ketika aku sandarkan kepalaku di pundakmu kau malah berlari beranjak meninggalkanku.
Kemarin juga aku rasa tiba diujung jalan.
Ah, sama saja apa bedanya?
Ketika tak kudapatkan lagi kau disana.
Pernah juga ketika kau mengirimkan puisi untuk ku.
Kemarin juga aku rasa bahagia.
Ah, lagi-lagi itu hanya kamuflase.
Ketika kulihat kau juga hilang ketika aku tiba.
Pernah kemarin ketika aku dapatkan kau bersedih.
Kemarin jug aku rasa sama.
Ah, kau malah membuang muka.
Ketika aku ingin menghapus air mata jagung yang aku lihat mengalir di pipimu sampai dagu.
Pernah kemarin ketika aku melihat purnama yang aku rasa indah.
Kemarin juga aku rasa haru.
Ah, kau seakan tidak peduli.
Ketika aku sandarkan kepalaku di pundakmu kau malah berlari beranjak meninggalkanku.
Sabtu, 18 Januari 2014
Untitle
........ lalu dia kembali
berlari lagi, hingga akhirnya dia berbelok dan aku pun masih jalan terpincang
menuju rumah sambil terus berfikir apakah benar yang dikatakan juan. Kalau
benar, betapa menjijikannya tingkah dia.
“Kamu kenapa nak?”
suara ibu mengagetkanku karna memang beliau duduk di belakang jendela dan aku
sama sekali tidak mengetahui keberadaannya. Aku pun segera menghampirinya dan
duduk disebelahnya dengan meja kecil diantaranya yang kaki mejanya diganjal
potongan kayu agar seimbnag. “Ini bu, kata si juan uratya ada yang kaku. Annisa
juga gak paham bu kenapa bisa begini” ucapku manja sambil memegangi kaki kiriku
yang putih ini sambil sesekali membenahi poni lurusku yang 3 hari lalu
dipangkas oleh ibu karna kata ibu poni panjangku penyebab kenapa mataku sering
sakit. Ibu hanya tersenyum lebar melihat tingkahku yang memang masih kental
dengan sifat kekanak-kanakan karna memang aku bukanlah gadis remaja. “Ibu tadi
menyuruh juan agar annisa segera pulang kan bu? Ada pakaian yang mau disetrika
ya bu? Sini annisa setrika, ibu pasti lelah” aku pun ingin segera beranjak dari
tempat duduk dan segera pergi ke kamar untuk menyetrika pakaian para tetangga.
Ibu hanyalah seorang buru cuci yang semangatnya luar biasa demi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari kami. “Tidak annisa, ibu tidak akan menyuruhmu ini itu.
Marilah nak, ada yang ingin ibu katakan” aku pun kembali ketempat semula dengan
kaki yang masih agak pincang. Aku masih tetap tersenyum dengan senyum khas anak
13 tahun dan duduk dipangkuan ibu. Ibu membelai rambutku dan sesekali menciumi
rambutku dan mungkin ibu sudah terbiasa dengan bau rambutku yang jarang sekali
berbau shampoo, namun tetap indah lurus. “Nak, ibu bolehkan pergi merantau?”,
“Merantau itu apa ibu?” aku pun mendongakan kepala kearah ibu yang aku lihat
air matanya seakan tertahan, “Merantau itu pergi dari tempat asal dia tinggal
nak. Merantau karna menuntut ilmu, karna ingin merubah nasib dengan kerja, semuanya
bisa dikatakan merantau kalau ia berpindah atau pergi dengan jarak yang tidak
dekat”, “Emangnya ibu mau merantau kemana” tanyaku sambil menundukan kepala,
dan ibu masih saja tetap membelai rambutku, “Ibu ingin ke Arab Saudi nak,
mencari uang yang banyak agar kamu tidak hidup menderita seperti saat ini. Ibu
ingin kamu sekolah yang tinggi, jadi orang yang tidak di pandang sebelah mata,
dan nantinya menjadi orang yang besar dengan segudang prestasi yang akan
membuat ibu bangga dan ayah pasti akan bangga dengan anaknya yang cantik ini
menjadi orang yang hebat” aku merasa ada tetesan air yang tepat mengenai
tanganku dan aku melihat ibu menangis. Selama ini, aku baru 2 kali mendapatkan
ibu menangis. Pertama pada saat ayah meniggal dan kedua pada saat ini. Aku pun
turun dari pangkuan ibu dan berdiri di depan ibu untuk menghapus air matanya,
kuraba pipinya dan kuperhatikan dengan jelas wajah ibu yang cantik. Ternyata
aku seperti ibu cantiknya dan ibu pun memeluk ku, “Kamu maukan ibu tinggal
merantau nak?”, “mau kok bu. Tapi kita masih tetap ketemu kan setiap hari bu?
Annisa gak bisa kalau ibu gak ada. Nanti siapa yang mau masakin annisa? Yang
ngajarin annisa belajar, yang ajak annissa pergi kerumah-rumah mewah. Walaupun
ibu sering marah kalau annisa suka lari-lari dirumah itu” air mata ibu mulai
bertambah deras dan aku kembali menghapus air mata itu, “Ibu kenapa menagis
sih? Annisa mengijinkan ibu bekerja kok, ibu jangan sedih ya. Annisa pasti
bakalan jadi orang yang pintar dan bisa seperti habibie yang buat pesawat yang
sering ibu ceritakan itu”, “Tapi nak, ibu akan pergi jauh kerjanya. Bukan hanya
di komplek sebelah. Ibu akan pergi kesana naik pesawat, dan kita akan lama
tidak berjumpa, bisa jadi kita hanya bertemu setahun sekali bahkan lebih”,
“Maksud ibu, ibu akan meninggalkan Annisa sendirian disini? Ibu gak sayang sama
annisa? Ibu jahat, annisa akan membenci ibu kalau ibu pergi” aku pun beranjak
lari meninggalkan ibu yang masih menangis. Dikamar aku masih berfikir, dimana
Arab Saudi itu kenapa ibu ingin kesana dan perginya naik pesawat. Apakah ibu
sudah tak mencintai aku lagi, atau jangan-jangan ibu marah karena aku sering
bermain kotor dan malas belajar. Kalau aku berjanji akan merubah semua apakah
ibu akan berjanji tidak akan meninggalkan aku sendiri. Aku pun menghapus air
mataku dan berjalan menuju ruang tamu dimana ibu masih terlihat duduk. Tapi aku
berat sekali menghampiri ibu, pasti ibu marah karena tadi aku ngebantah ibu.
Aku hanya berani memperhatikan ibu dari balik kain gendong yang panjang yang
dipasang ibu untuk menggantikan fungsi pintu. Aku lihat ibu menangis dan ibu
sepertinya sedang mengambil sesuatu dibelakangnya dan itu foto ayah, ibu
memeluk foto ayah sambil sesekali ibu menciumi foto ayah. “Mas, sri akan ke
Arab Saudi mengadu nasib disana demi mewujudkan mimpi mas yang ingin melihat
anak kita bersekolah yang tinggi. Kalau sri masih disini sebagai buruh cuci
dengan gaji yang hanya bisa untuk makan seminggu pasti tidak akan bisa
menyekolahkan annisa tinggi. Tapi annisa tidak mau sri tinggal mas, sri kasihan
melihat dia tadi sepertinya sangat bersedih. Andai kamu masih hidup mas,
pastilah sri tidak akan merasakan sesedih ini karena sri masih mempunyai teman
untuk saling bertukar cerita” ucapan ibu yang mampu aku dengar dengan jelas itu
membuatku tak kuasa membendung air mata ini lagi. Dan aku lihat lagi ibu
membuka sebuah kotak yang berukuran agak besar, aku juga tidak tahu apa isinya
dan ibu menutupnya kembali. Aku lihat ibu sepertinya ingin berjalan ke kamar,
aku segera menuju tempat yang hanya beralaskan anyaman pandan dan berpura-pura tidur. Aku merasakan hangatnya
sentuhan ibu dan nafasnya seakan dekat terasa ditelingaku, “Ibu sayang kamu
nak, ibu pergi bukan berarti ibu gak sayang. Semua gaji ibu akan ibu kasih ke
kamu nak, untuk sekolah kamu, untuk cita-cita kamu ingin menjadi seorang
dokter. Ibu akan mewujudkan itu untuk kamu nak. Maka ijinkanlah ibu pergi
merantau ya nak. Annisa putri ibu yang cantik, ibu sayang kamu nak” ibu pun
mencium keningku. Ku rasakan ibu beranjak dari sampingku dan tak lama aku
dengar suara ibu sedang mencuci pakaian. Aku pun membalikan badan ku dan
kelelahan menangis membuatku tertidur sungguhan.
Senin, 13 Januari 2014
Resistensi
Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha maksimal dilanjut dengan berdoa.
Hasil akhir adalah rahasia Illahi.
Jika hasil dirasa kurang sepadan dengan usaha keras kita, maka bersabarlah.
Mungkin Tuhan senang mendengar rintihan doa kita yang syahdu disetiap sujud itu.
Yang penting kita sudah usaha dengan jujur, itulah kemampuan kita.
Ingat filosofi batu, ia pasti akan cekung juga kalau setiap harinya terteteskan air.
Jangan pernag menyeraj untuk berusaha.
Bersyukur akan semua akan menjadi kunci rasa semangat yang semoga tetap berkobar.
Ibaratkan rasa semangat itu bakteri dan kemalasan adalah antibiotiknya.
Semakin sering semangat itu diberi kemalasan maka semangat itu akan menjadi kebal terhadap bisikan malas atau dengan kata lain "RESISTENSI SEMANGAT TERHADAP SUATU KEMALASAN".
Si rasa semangat tidaklah mempan dibunuh dengan rasa malas hingga pada akhirnya tak ada lagi rasa malas yang mampu menggoda semangat untuk mati.
Kalau resistensi antibiotik sangat ditakutkan oleh semua orang, maka resistensi semangat sangat diinginkan untuk menjadi suatu hal yang permanen di diri..
Hasil akhir adalah rahasia Illahi.
Jika hasil dirasa kurang sepadan dengan usaha keras kita, maka bersabarlah.
Mungkin Tuhan senang mendengar rintihan doa kita yang syahdu disetiap sujud itu.
Yang penting kita sudah usaha dengan jujur, itulah kemampuan kita.
Ingat filosofi batu, ia pasti akan cekung juga kalau setiap harinya terteteskan air.
Jangan pernag menyeraj untuk berusaha.
Bersyukur akan semua akan menjadi kunci rasa semangat yang semoga tetap berkobar.
Ibaratkan rasa semangat itu bakteri dan kemalasan adalah antibiotiknya.
Semakin sering semangat itu diberi kemalasan maka semangat itu akan menjadi kebal terhadap bisikan malas atau dengan kata lain "RESISTENSI SEMANGAT TERHADAP SUATU KEMALASAN".
Si rasa semangat tidaklah mempan dibunuh dengan rasa malas hingga pada akhirnya tak ada lagi rasa malas yang mampu menggoda semangat untuk mati.
Kalau resistensi antibiotik sangat ditakutkan oleh semua orang, maka resistensi semangat sangat diinginkan untuk menjadi suatu hal yang permanen di diri..
Kamis, 09 Januari 2014
Seakan lama
Hampa.
Mungkin sekaranglah yang terasa.
Setelah beberapa bulan ini kita terasa tanpa celah.
Pagi, siang, malam. Bahkan seringnya aku tertidur sedang kau ku peluk.
Karna ingin ku mengenalmu lebih jauh.
Beberapa hari kedepan kita tak bersama.
Sudah rindu walau baru satu hari.
Walaupun ini sebenarnya juga nikmatNya yang harus aku terima, tapi rasa tak sabar untuk terus bersamamu kian menggebu.
Maafkan, mungkin aku dulu mengabaikanmu sampai akhirnya aku paham kau mukzijat yang Allah titipkan pada suri tauladan kami seluruh umat Islam.
Pedoman hidup yang harus dijaga dan amalkan.
Teman, semangatlah menuntaskan semua.
Pahala yang akan kita dapatkan itu akan menggantikan semua rasa capek kita.
Dan teruslah buru pahala itu, semoga kelak kita menjadi hamba yang bertaqwa, aamiin :')
Mungkin sekaranglah yang terasa.
Setelah beberapa bulan ini kita terasa tanpa celah.
Pagi, siang, malam. Bahkan seringnya aku tertidur sedang kau ku peluk.
Karna ingin ku mengenalmu lebih jauh.
Beberapa hari kedepan kita tak bersama.
Sudah rindu walau baru satu hari.
Walaupun ini sebenarnya juga nikmatNya yang harus aku terima, tapi rasa tak sabar untuk terus bersamamu kian menggebu.
Maafkan, mungkin aku dulu mengabaikanmu sampai akhirnya aku paham kau mukzijat yang Allah titipkan pada suri tauladan kami seluruh umat Islam.
Pedoman hidup yang harus dijaga dan amalkan.
Teman, semangatlah menuntaskan semua.
Pahala yang akan kita dapatkan itu akan menggantikan semua rasa capek kita.
Dan teruslah buru pahala itu, semoga kelak kita menjadi hamba yang bertaqwa, aamiin :')
Sabtu, 04 Januari 2014
soal dan absen
Tiba-tiba teringat sama kejadian yang sedikit memalukan di Aula pada saat ujian tengah semester lalu.
Karena tiap mata kuliah dosen yang memberi ilmu bukanlah hanya satu saja melainkan lebih dari 1 otomatis ujianpun harus menerima lembar soal sesuai jumlah dosen. Nah, kebetulan pada saat ujian itu mata kuliahnya di bimbing oleh 2 dosen.
dosen pertama sudah membagikan lembar soal, dan aku mulai mengerjakan tanpa menghiraukan kondisi sekitar lagi sehingga setiap pengawas meminta krs untuk du paraf aku selalu terkejut..
dan tibalah seorang pengawas yang masih salah satu dosen di kampus juga datang memberi selembar kertas, aku yang tak membaca isi kertas langsung berkata sehingga membuat dosen muda itu memberhentikan langkahnya, "Pak, saya belum dapet soal satu lagi" dengan ekspresi tanpa salah, "soal yang mana?" saya melihat mimik wajah si dosen muda itu seperti keheranan sekali, "Soal dari ibu ......... pak" bapak itu makin heran, dan saya lebih heran, "itu ditangan kamu kan soalnya", masih belum ada niatan mau lihat beberapa lembar soal yang ditangan, "Ini kan absen pak", bapak itu mulai agak menahan tawa, "kamu lihat dulu deh", dan aku pun melihat kertasnya dan benar itu soal yang aku tanyakan, bukan absen yang aku kira. Sontak aku langsung seakan jatuh kejurang terdalam dan dalam hitungan detik seakan hapalan ku hilang semua, "Maaf ya pak ya, saya pikir ini absen. Maaf ya pak" Semakin kacau, merasa bego banget pada saat itu , bapak itupun melihat saya sebentar dengan wajah yang sangat spesifik seperti orang sedang menahan tawa, "Oh iya, gpp" lalu dilanjutkan lagi langkahnya yang sempat tertunda karena ketidak cermatanku..
Sampai sekarang kalau kebetulan berpapasan sama bapak itu aku menahan tawaku dan berharap bapak itu lupa dengan wajahku dan berharap itulah yang terakhir..
Pesan Moral: baca sebelum biacara
Karena tiap mata kuliah dosen yang memberi ilmu bukanlah hanya satu saja melainkan lebih dari 1 otomatis ujianpun harus menerima lembar soal sesuai jumlah dosen. Nah, kebetulan pada saat ujian itu mata kuliahnya di bimbing oleh 2 dosen.
dosen pertama sudah membagikan lembar soal, dan aku mulai mengerjakan tanpa menghiraukan kondisi sekitar lagi sehingga setiap pengawas meminta krs untuk du paraf aku selalu terkejut..
dan tibalah seorang pengawas yang masih salah satu dosen di kampus juga datang memberi selembar kertas, aku yang tak membaca isi kertas langsung berkata sehingga membuat dosen muda itu memberhentikan langkahnya, "Pak, saya belum dapet soal satu lagi" dengan ekspresi tanpa salah, "soal yang mana?" saya melihat mimik wajah si dosen muda itu seperti keheranan sekali, "Soal dari ibu ......... pak" bapak itu makin heran, dan saya lebih heran, "itu ditangan kamu kan soalnya", masih belum ada niatan mau lihat beberapa lembar soal yang ditangan, "Ini kan absen pak", bapak itu mulai agak menahan tawa, "kamu lihat dulu deh", dan aku pun melihat kertasnya dan benar itu soal yang aku tanyakan, bukan absen yang aku kira. Sontak aku langsung seakan jatuh kejurang terdalam dan dalam hitungan detik seakan hapalan ku hilang semua, "Maaf ya pak ya, saya pikir ini absen. Maaf ya pak" Semakin kacau, merasa bego banget pada saat itu , bapak itupun melihat saya sebentar dengan wajah yang sangat spesifik seperti orang sedang menahan tawa, "Oh iya, gpp" lalu dilanjutkan lagi langkahnya yang sempat tertunda karena ketidak cermatanku..
Sampai sekarang kalau kebetulan berpapasan sama bapak itu aku menahan tawaku dan berharap bapak itu lupa dengan wajahku dan berharap itulah yang terakhir..
Pesan Moral: baca sebelum biacara
Rabu, 01 Januari 2014
karena senja itu..
Karna senja itu indah.
Warna awannya, mentarinya, sepoi anginya.
Sembari bersyukur bahwa nikmat hidup adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Masih ada lagi yang diragukan dari semua nikmatNya? tidak.
Senja, kau ibarat mengajarkan tentang kerelaan.
Dimana burung kecil harus rela kehilangan sementara sinar mentari.
Adakah kau berjanji untuk kembali datang?
Oh senja, kau tetap yang kunanti di akhir hari..
Warna awannya, mentarinya, sepoi anginya.
Sembari bersyukur bahwa nikmat hidup adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Masih ada lagi yang diragukan dari semua nikmatNya? tidak.
Senja, kau ibarat mengajarkan tentang kerelaan.
Dimana burung kecil harus rela kehilangan sementara sinar mentari.
Adakah kau berjanji untuk kembali datang?
Oh senja, kau tetap yang kunanti di akhir hari..
Langganan:
Postingan (Atom)