Jumat, 29 Agustus 2014

Saya transparan (mungkin)

Saya transparan? Mungkin sih gitu di mata para pedagang yang lewat depan rumah.
Mungkin ini sudah sering terjadi, tapi saya ambil dua kejadian saja. Karena kalau banyak-banyak takutnya gak habis.

Tukang rujak yang memang kualitas rujaknya itu "wow" hanya lewat sekitaran pukul 10 pagi di depan rumah. Alhasil seperti biasa, menunggu dan menunggu dengan kelenjar saliva yang sepertinya tidak bisa di ajak kompromi dengan membayangkan nanas dkk di hadapan. Tak lama, 'teng teng teng' saya pun bangkit dari duduk dan segera lari kedepan rumah. Yap, karena kebetulan tukang rujaknya naik motor jadi agak kelewatan dikit. Buru-buru dah tu ya buka pintu pager, jerit 'RUJAK! RUJUK! RUJAK! WAK RUJAAAAKK!' tidak dengar juga. Karena memang sudah kepengen rujaknya kebangetan, jadi tetap tidak putus asa memanggilnya, jarak nya itu tidak terlalu jauh tapi heran aja kenapa sebegitunya tukang rujak mengabaikan panggilan saya. Dan terdengar juga samar suara tetangga memanggil rujak "eh, Alhamdulillah balik" saya yang melihat dia berbalik arah pun senang bukan main dan mengambil uang dan piring ke dalam rumah. Saya lihat tukang rujanknya sedang memotong buah-buahnya yang sudah pasti untuk tetangga saya yang memang hanya berjarak 10 meter mungkin. Dan saya pun memanggil tukang rujak itu supaya jangan pergi dulu karena saya mau membeli. Tapi, yaitu tadi, tukang rujak itu tak juga melihat saya. Karena saya pikir suara saya kekecilan saya pun berulang kali memanggil dia. Menurut hemat saya, tak usah lah dibutuhkan indra pendengarannya untuk tahu kehadiran saya yang sebagai raja, sedikit saja menoleh, mungkin dia tahu kehadiran saya yang sedang bawa-bawa piring. Dan tak lama tukang rujak itu pun pergi. Tukang rujak itu sungguh tak tahu kehadiran saya. Oke, mungkin belum saatnya makan rujak. Saya pun masuk dengan piring kosong dan Ibu saya tertawa mendengar cerita saya yang mungkin sudah terlalu mainstream..

Terlepas dari tukang rujak yang hingga kini saya sungguh tidak mau lagi berlangganan dengan dia, kita kecerita berikutnya yang tak kalah ngenesnya.
Sore hari, seperti biasa saya menyapu halaman luar. Tak lama tukang aksesoris dan main-mainan berjalan atau biasa di sebut "Serbu" a.k.a serba seribu lewat. Huh, padahal harganya mana ada yang seribuan, entah siapa pencetus nama seperti itu. Tapi yasudalah! Saya jadi ingat kalau Ibu kemarin bilang beliau butuh jarum jahit dan memang menunggu serbu ini lewat. Saya pun langsung berdiri di pager rumah yang memang masih lebih tinggi saya dibanding pagernya, sebelum serbu itu lewat saya sudah beradu pandang dengan tukang serbu tersebut "serbu!" jerit saya kecil dan dia berlalu saja tapi masih tetap melihat saya, tepat di depan rumah saya panggil lagi dengan suara agak kuat tapi tetap tidak memberhentikan motornya hingga akhirnya saya pun melambaikan tangan bukti bahwa ada saya loh disini yang manggil tapi gak dipedulikan dan sudah bisa diduga serbu itu berlalu begitu saja lewat didepan rumah. Saya yang merasa aneh pun langsung berbalik badan dengan sapu dan melihat kearah adik saya yang berdiri di depan pintu yang hanya mengenakan handuk karena baru usai mandi sore, spontan saya bertanya "Dil, kakak ini sekarang enggak transparan kan? Kau bisa lihat kakak sekarang kan dil?" sambil memegang pipi dengan wajah masih menunjukan ekspresi aneh, adik saya pun hanya tertawa. Ibu yang keluar kamar tak mau kalah menertawakan saya yang masih seperti tidak yakin ada penjual yang sebegitunya. Ibu hanya bilang mungkin suara saya kekecilan. Tapi ini tidak berbicara soal suara lagi, tapi sudah saling lihat masak iya tukang serbu itu tidak bisa lihat mulut saya yang mungkin sedang seperti orang bicara walaupun hanya satu kalimat "serbu". Ha, aneh memang. Tapi sudalah, saya mungkin dianggap transparan sama mereka. Mungkin lebih tepatnya tidak di anggap! Ini lebih galau dari masalah percintaan Ben dan Marshanda, menurut saya..

Minggu, 24 Agustus 2014

Janhujanhu

Sore ini senja tak biru
Iya, dikota ku hujan
Langitnya kelabu
Tapi tidak untuk suasanaku
Suara hujan yang jatuh di muka rumahku merdu suaranya
Apalagi yang jatuh di genting
Kalau saja aku seorang pencipta nada mungkin satu lagu cukup untuk satu moment hujan
Bersyair kan tentang rintik senja~

Sabtu, 23 Agustus 2014

Langit bersajak di beranda

Di beranda;
Aku hanyut oleh angin
Menyapu wajah
Yang aku kira itu kau

Di beranda;
Langit kosong
Bak permadani tak bercorak
Pada gelap saja ku sembunyikan ini

Di beranda;
Jika aku menulis sajak di langit
Kau punya waktu 120 detik tidak untuk menatap terus keatas?
Aku tak akan lelah

Di beranda;
Sendiri
Sunyi
Harap


Sendiri menikmati langit kosong
Sunyi tak berbintang
Harap kau yang menjadi bagian dari puisi...

Jumat, 22 Agustus 2014

Semoga tidak

Kepatahan ini belum sempurna susunan nya
Tapi patahan nya sudah rapi

Aku lupa bertanya
Apakah kau akan pergi?
Setelah sekejap kau titip pesan

Siapa aku jika memang iya
Lantas apa daya ku jika memang iya
Suatu saat jua lah pasti iya

Haaa
Paling saja aku hanya bisa berpuisi kalau iya
Menikmati kematian itu pabila iya

Tapi akan ku berikan sajak-sajak yang tak pernah terlihat jika tidak
Bahkan tersenyum sambil berurai air mata jika sungguh tidak dan kau disini
Kita berpuisi bersama ditengah cemara..

79 Menit, di bibir senja

Aku menunggu mu di ujung sore
Yang aku sebut senja
Dengan setengkai kepatahan jiwa yang mendera
Dan senyum yang aku latih sejak malam

Aku menunggu mu di ujung sore
Di antara terik
Aku terduduk di bibir senja
Dengan pakaian bekas gerimis

Aku menungu mu di ujung sore
1 menit
79 menit
Hingga akhirnya langit tak lagi jingga dan kau enggan datang..

Kamis, 21 Agustus 2014

Cerita malam

Dalam senyap aku bersenyawa
Pada bayangmu yang kaku
Kian kaku dengan dingin
Pada pelukan yang tak beraga

Membisu aku bercerita
Pada bekas puisi mu di sisi jalan ini
Terpejam seluruh hati
Tanda betapa aku rindu

Aku rindu
Pada puisi mu
Yang berjingkrak di atas tanah basah
Sedang aku bertepuk tangan

Aku kangen
Pada bait kata mu
Yang melantunkan nada tanpa bimbang
Sedang aku tersipu

Hingga pada akhirnya kau tak pernah tahu..

Rabu, 20 Agustus 2014

Wanita berambut sasak

Aku sangat ingat jelas
Ketika matamu dengan tajam menatap ku
Cacimu yang aku ingat
Kau duduk di bangku dengan menunjuk-nunjuk kertas kepunyaan ku

Aku sangat ingat jelas
Aku hanya mengangguk
Sepata kata ku ucap dengan terbata
Mata ku mulai nanar namun bibir tersenyum tak besar

Aku sangat ingat jelas
Ketika kau seperti Tuhan yang meramal akan masa depan ku
Disitu hati ku tersobek
Rasa ingin melayangkan tinju kewajahmu sekan telah kususun

Aku sangat ingat jelas
Kau memakai baju dan rok berwarna merah muda
Lipstik merah muda yang sukses menutupi usia mu yang tak mudah
Parfume yang aku pikir aku akan butuh waktu 2 bulan untuk memilikinya

Kau, wanita dengan rambut sasakan yang aku maksud!
Aku membencimu
Kau, wanita dengan rambut sasakan yang aku maksud!
Kau berhasil membuat aku menangis saat jalan pulang
Kau, wanita dengan rambut sasakan yang aku maksud!
Akan ku temui kau dan aku akan bicara lembut di depan mu "Ingat kah kau? Aku yang dulu pernah kau caci dan acuhkan"

Selasa, 19 Agustus 2014

Di pucuk malam

Kita temangu bukan kalah
Pun hujan membuat kaku bibir
Membuat bayang seakan nyata
Membuat bualan menjadi buaian

Kau bicara dalam hati
Sedang aku kau paksa akan paham
Kau bicara dalam diam
Sedang aku kau paksa akan dengar

Kita baru sekejap tak beradu
Tetapi rindu tak mau untuk mentolerin sedikit

Sekejap terpisah
Akan riuh canda dalam angan yang sempat tercipta
Sekejap terpisah
Akan duka yang terbagi meski sekeping

Aku menyusuri dingin tanpa puisi
Kau, entalah
Aku terkaku di sela malam yang layu
Kau, entalah

Di pucuk malam bermunajah tentang hidup
Di pucuk malam ku genggam jari kanan
Di pucuk malam air hujan bertemankan air mata
Di pucuk malam ku abadikan rasa tanpa putus

Dan di pucuk malam aku terisak "bahwa hidup di dunia tak ubahnya seakan singgah di pulau terkecil yang waktunya hanya untuk mengumpul bekal menuju tempat abadi"

Senin, 18 Agustus 2014

Puisi malam dari Ibu untuk Toni

Nak, tahanlah sekejap cacing-cacing diperutmu untuk tidak berisik
Ibu tak kuasa untuk tidak menangis setiap sekali suara yang tertangkap oleh telinga Ibu
Ibu baru saja usai mendoa untuk bapak agar pulang dapat menenteng sebungus nasi pemberian Pak Lurah
Nak, minumlah air yang Ibu timba tadi sore tapi ingat tutuplah hidungmu ketika kau meneguknya

Nak, kau dengar? Bapak pulang
Tak usah kau pegang lagi perutmu yang mengecil semenjak bapak mu di PHK sebulan lalu
Makanlah nak, Ibu dan Bapak bisa puasa sampai 2 hari
Lihat wajah Bapak mu nak, tak terbesit rasa putus akan asa yang memacu

Nak, Ibu tak pernah usai mendoa untuk kebesaran hidupmu
Agar kelak kau mampu hidup tak susah seperti Ibu Bapak
Di tanah ini yang selalu dihantui petugas pamong praja
Di gubuk ini yang selalu merayap momok menakutkan seperti banjir

Nak, Negeri kita tercinta ini sudalah 69 tahun merdeka
Tapi lihat, malam kita hanya bisa tahu terangnya lampu di sudut Kota
Ibu terpukul tiap kali kau merengek karena pedihnya matamu akibat membaca di depan lilin
Ibu terpukul tiap kali kau bertanya tentang rasa udang dan kepiting itu seperti apa
Tapi Ibu teramat bangga ketika gurumu menyalutkan kecerdasanmu

Nak, kita tidak sendiri yang seperti ini
Ribuan teman kita masih ada yang lebih pahit hidupnya
Tidur di emperan toko meringkuk dingin dan kehujunan kuyup
Tanpa Bapak dan Ibu

Nak, Indonesia sudah merdeka selama 69 tahun!!

Minggu, 17 Agustus 2014

17 Agustus '14, Senja di desa pantai cermin

Bisa nge take moment senja itu; luar biasa. Dimanapun kaki berinjak, senja tetaplah senja yang indah :")





Jumat, 15 Agustus 2014

Surat ini untukmu 2

Aku sedang patah saat ini. Aku terjatuh untuk kesekian kalinya lagi. Tapi entah kenapa dalam hati seolah meyakinkan aku adalah wanita hebat walau sebenarnya telah banyak luka tersayat di hati dan tubuh ini.
Waktu aku menulis ini pagi sedang gerimis. Semakin menambah kebimbangan akan hidup yang aku pilih sekarang. Aku tak pernah mau menceritakan ini padamu. Pun aku ceritakan aku tidak tahu kalimat apa yang akan aku ucapkan dan kalau aku kirim melalui tulisan aku tidak tau kata apa yang harus aku tulis dahulu. Tapi secara diam-diam aku selalu belajar darimu. Belajar bahwa masalah yang ada dan datang bukan untuk membuat kita langsung mengibarkan bendera putih lantas mati, tapi untuk terus bangkit. Aku pergi dulu untuk beberapa waktu, untuk memberi ketenangan. Berdiam diri merenung akan seperti apa jika aku teruskan dan aku hentikan. Aku akan baik saja walau sedang patah. Rindu ku aku titipkan pada hujan agar kau tidak sendiri. Menghabiskan waktu kesedihan seorang diri hanya bersamaNya, mungkin itu jalan terbaik untuk saat ini. Aku terlatih untuk bangun dan membersihkan luka itu karena aku mungkin mulai menyayangi mu dalam di dalam diamnya mulut ini, sehingga aku tidak akan mennjadi wanita yang mudah menjatuhkan air mata di saat kita bersama atau tidak. Ini bukan masalah akan mu tapi akan ku. Aku pikir kau tidak tahu rasanya jika kesenangan dan kesedihan itu datangnya serentak. Tapi ah, sudalah. Kau pernah bilang kalau Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan aku tahu itu sudah tertulis mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat lagi. Dan baiklah kau, walau sebelum aku pergi pun kau tidak penah tahu kalau aku selalu mendoakan orang-orang tersayang ku termasuk kau. Sekali lagi aku bilang, aku akan baik (Insya Allah). Sebelum kau bertanya-tanya ada baiknya aku pinta jangan khawatirkan aku.. 

Kamis, 14 Agustus 2014

Bukan puisi

Ku tulis ini saat hujan baru saja reda. Sore di tanah kelahiran ku yang bersahabat. Kucing dihadapan ku sedang tidur, sedang matahari sore dengan gagah menampakan sosoknya yang beberapa hari ini menjadi buah bibir Ibu-ibu disini yang mulai mengeluh tentang pakaian basah yang terpaksa harus dilanjutkan menjemurnya di dalam rumah. Kalau aku dimusim hujan juga sibuk, sibuk mendaur ulang puisi-puisi yang terlalu dini untuk di ungkapkan siapa sosok "kau" dan "dia" yang kerap hadir di setiap baitnya, tapi tak jarang aku ciptakan sendiri "kau" dan "dia".
Sore ini ingin bermanja dengan daun bekas gerimis tanpa harus berpuisi. Indah sekali sore kali ini, senja biru seakan nyata tanpa harus lelah aku mengimajinasikannya. Tapi diam-diam sepertinya awan membentuk wajahmu. Ku lihat sekali lagi sudah tidak, sedetik lagi aku lihat iya. Ah, mungkin ini karena rindu. Rindu pada yang tidak diketahui siapa sosoknya.
Ini bukan puisi. Sebab wangi rerumputan terlanjur membuat ku kehilangan kata-kata untuk menjadikanya puisi walau hanya sebait :)

Selasa, 12 Agustus 2014

7:15 AM bersama gerimis

Pagi, kamu
Apa yang terjadi pada hatimu
Senyum mu tak ku dapat pagi ini
Kau terlalu menikmati kedinginan?
Atau kau menyimpan perasaan lirih?

Pagi juga, kamu
Jangan hiraukan aku
Sebab tak ada spesifikasi akan ini
Aku baik, gerimis
Hanya sedikit hal yang berubah ketika kau tiba di depan jendela ku

Kau, rindu?
Mari mendekatlah
Kita bisa bermain disini
Atau kau tuliskan di punggungku rindumu
Agar aku bisa meneruskan nya ke dia

Rindu?
Kata apa itu, gerimis
Aku baru mendengarnya beberapa detik yang lalu
Aku tidak mengerti maksudmu

Kau pasti pernah merasakan menginginkan aku untuk hadir di kaca jendelamu lagi kan?
Lantas kau berbisik pelan "Gerimis, apa kau lupa akan aku"
Tapi yang terjadi aku tau jua singgah
Walaupun untuk sekedar menyapa "kau terlihat anggun hari ini"

Kalau begitu benar katamu, gerimis
Bahkan saat ini aku merasakan dua hal yang tak ku sangka hadir
Pertama, kasih yang tak sampai
Kedua, rindu yang tak kunjung ada pertemuan

Sabarlah sedikit
Akan aku sampaikan
Jika aku menemuinya di perbatasan penantian
Sekarang melangkah lah
Aku akan merasa bersalah jika kehadiranku di jendela mu membuat tambah pilu wajahmu

Tidak, gerimis
Tetaplah disini
Aku menikmati kehadiranmu dan kerinduanku
Jangan kau sampaikan hal ini
Karna aku tidak ingin melukainya jika waktu tak kunjung memberi sedetik kesempatan untuk kami bisa saling menatap
Rasa ini sudah terlanjur nyaman disini

Kau terlihat hebat pagi ini
Tak beda dengan sahabat ku petir

Aku tak butuh pujianmu, gerimis...

Kami Rapopo

Senin, 11 Agustus 2014

Bulan

Aku sempat tidak berkedip
Melihat dengan tertib bulatan bercahaya diatas
Menerawang apakah ada yang seperti ku melihatnya

Terlalu frontal kalau aku harus bicara dengan gamblang
Bicara; Hai bulan, kau tau seseorang yang sering aku titipkan rindu kan? Dia melihat mu tidak malam ini?
Tidak, aku tidak akan siap jika bulan menjwab; ha, dia selalu mengabaikan aku. Bahkan salam mu tidak pernah berhasil aku sampaikan

Ini hal biasa buat hati yang selalu tersembunyi
Ah, bulan selalu mencoba menghibur
Tapi bulan, entah mengapa aku yakin firasat ku salah..

Tanpa

Aku belajar puisi darimu
Kau bisa merangkai kata walau sakalipun kau tengah di pekat malam
Aku belajar puisi darimu
Ketika aku masih sibuk dengan bualan yang sia-sia

Aku mengenalmu jauh ketika senja
Saat sinarnya terabaikan
Aku mengenalmu jauh ketika fajar
Saat semerbak wangi mawar tercumbui senja

Aku cemburu
Pada cicak yang setia di dinding kamarmu
Aku cemburu
Pada tetangga mu yang setiap hari melihatmu

Dan terakhir, aku ingin..

Minggu, 10 Agustus 2014

Surat di ujung hari

Rerumputan itu paham akan kehadiranku
Tempat istimewa yang pernah ada disini
Bersama beberapa kenangan
Kenangan yang tak pernah ku namai

Sesaat aku menikmati batasan kita
Lihat, aku tersenyum
Ucapan 'aku rindu' selalu bermuara di ujung lidah
Lihat, aku tersenyum

Diujung hari ini, aku bawakan secangkir tarian
Diujung hari ini, aku menikmati sebuah bayangan yang nyata
Diujung hari ini, aku titipkan melodi yang bisu
Diujung hari ini, aku sering menamakannya: SENJA


Sabtu, 09 Agustus 2014

Kumbang pun tertawa

Lantas apa yang kau tunggu?
Kumbang-kumbang itu baru saja pergi
Ini jejaknya
Kau terlambat, hei

Kami tadi bercengkrama tentang kau
Puas mulut menertawakan mu
Hingga kumbang kehabisan huruf untuk tertawa
Dan aku terlalu santai

Hei, apa yang kau tunggu
Apa yang kau cari?
Pergi lah, ada yang menunggu mu di ujung senja
Dia menanti tanpa waktu

Tak kau sapa dia?
Oh hei, betapa angkuhnya kau
Lihat dan dengar cerita ku
Kumbang pun tertawa lepas akan sikap mu...








Jumat, 08 Agustus 2014

Gigil

Mari kita lanjutkan perjalanan sepi ini
Hujan tak lagi deras
Mengapa kau berpegang erat pada jemari ini?
Sedang aku menggigil tanpa tumpuan
Sama sekali tak memberi penawar akan dingin mu
Berjalan lah disampingku

Lihat
Betapa anggun dingin yang merayap disetiap jengkal tubuh kita
Kau membiru
Sedang aku terpejam menahan
Dingin
Hangat

Sekali ini aku yang berpegang erat akan lenganmu
Kau arahkan mataku ke selatan dan berkata "ada impian yang menjemput"
Ada lekukan manis dibibir
Seketika itu pula ada yang kembali
Gerimis menerpa
Angan tak pernah mampu terikut manut bersama aliran hujan dan angin...

Kamis, 07 Agustus 2014

Selamat malam, dingin..

Dingin, sepi
Hujan, angin
Seakan melegalkan ucapan "aku sangat rindu"
Dan setangkup harapan akan kata "baiklah, apa beda dengan ku"

Tetaplah
Yang aku rasa tak seperti biasa
Aku terlalu takut untuk menyentuh hujan
Takut akan rindu yang akan menjadi selimut nanti

Mencari kehangatan di setiap sela, antara rintik hujan dan sepi
Tak ada yang bisa ku kenang disini
Karena mungkin  kau bukanlah bagian kenangan
Apa coba kuhitung saja berapa sekumpulan hujan yang singgah di kaca jendelaku?

Sedikit
Tak memiliki daya jika dibandingan jumlah kumpulan rindu yang aku tabung di ruang hidup hati ini...

Rabu, 06 Agustus 2014

Selamat malam, hujan...

Selamat malam hujan
Sial, mengapa kau harus datang malam ini?
Kau tidak tahu, kehadiranmu semakin menambah lengkap pilu kerinduan ini
Pada
Pada dia
Iya, dia

Selamat malam hujan
Tunggu, seharusnya ini adalah waktu terbaik untuk mendoa untuk kesembuhan hatiku
Kalau kau kata dia tidak akan mengetahui
Itu artinya kau bodoh!

Selamat malam hujan
Sekali ini terasa hangat, sebentar
Lantas dingin berkepanjangan
Hingga membeku dan sulit mencair...


Kepada dingin

Merindumu sama saja seperti mencelupkan diri ke danau biru yang membeku disaat musim dingin
Aku yang tak pernah terlihat
Tapi cobalah kau jabarkan seperti apa bentuk angin, bisa?
Aku tidak pernah minta untuk kehadiranmu disini, tidak, sama sekali tidak
Sudah ku bilang, aku ini hanya ingin menjadi tulisan yang tidak diketahui siapa penanya..

Selasa, 05 Agustus 2014

Surat pagi bersama kutilang

Selamat pagi, dia
Dipersimpangan jalan ini aku kembali hadir. tanpa puisi yang berarti
Aku masih meringkuk bersama bekas fajar berembun, tanpa dia
Daun? Dingin? tidak, semua hangat
Aku pernah memberi arti pada setiap sepi
Menjadikan dingin sebuah hangat
Menjadikan ramai sebuah sepi mendalam
Bahkan menjadikan silir menjadi gersang
Tapi ah itu terlalu indah
Tak perlu dia risaukan gersang yang aku maksud
Cukup gersang yang menjadikan aku akan paham apa artinya silir yang dulu aku rangkai

Kutilang, kau dengar aku?
Itulah dia
Kau paham lah, seperti yang kau bilang
Hanya kita yang rasa...

Dan bisa jadi aku yang terlalu mengharap bulan untuk paham segala cerita malamku